Tuesday, January 13, 2015

Halo, first post in 2015!

Hai kawan..sudah lama blog ini vakum..sekarang masing2 dari kami sudah lulus kuliah loh..alhamdulillah..hehehe

Kebetulan kami ga murtad dari ilmu kami dan masih berkecimpung di dunia geologi

Sekian terimakasih

Tuesday, July 10, 2012

Impossible Is Nothing.

me: (tiduran dijalan desa) ah ga mungkin gue kelindes mobil dijalan beginian.
*teeeet. truk lewat. motor lewat. jalan mendadak rame.

avi: (cuaca super panas) coba aja ada singkapan yg ada warungnya. enak tuh buat tempat makan siang. 5 menit kemudian, nemu warung jualan minuman dingin sebelahnya singkapan 6x4 meter.







Impossible is nothing, only on Karangsambung.

Monday, July 9, 2012

Dari Bandung Hingga Karangsambung



Macet, bioskop, Mc Donald, ITB, punclut. Mungkin 5 hal tadi yang bakal terpintas dikepala gue ketika mengingat kata “Bandung”. 3 tahun di Bandung mungkin waktu yang lumayan lama bagi seorang anak daerah ingusan seperti gue untuk mengamati dan menikmati indahnya kehidupan masyarakat Bandung. Tapi bagaimana dengan kehidupan di Karsam (singkatan Karangsambung)? Sepertinya 1 bulan Kuliah Lapangan di desa Karangsambung, Kebumen cukup membuka pandangan dan hati bagaimana warna-warninya dunia ini.

Karangsambung, merupakan sebuah desa di utara Kebumen, Jawa Tengah. Desa yang pasti dikenal oleh tiap geologist dan calon-calon geologist di Indonesia. Desa ini memiliki cerita geologi yang begitu indah dan menarik untuk dipecahkan. Perbukitan yang masih asri, perkebunan yang teramat luas, hingga cara hidup yang sangat sederhana juga begitu menarik perhatian gue untuk menulis cerita kecil-kecilan ini.

Pagi hari di Karsam, ketika berangkat ke lapangan dan siap menyantap singkapan-singkapan batuan, warga sekitar juga terlihat sibuk dengan keseharian mereka yang sepertinya terus berulang tanpa henti. Bapak-bapak yang masih memiliki fisik yang kuat biasanya terlihat sibuk mengendarai truk dan mengeruk pasir di daerah pertambangan pasir hampir di sepanjang tepi Kali Luk Ulo, kali dengan lebar hingga 20 meter yang membelah desa ini dari utara hingga selatan. Pria berumur sekitar 20-an terlihat sibuk dengan angkot dan bus kecil yang hanya beroperasi pada jam keberangkatan dan kepulangan sekolah.

Kemana perginya para lelaki-lelaki yang sudah termakan usia? Mereka biasanya akan banyak terlihat ketika gue mulai memasuki perkebunan. Mereka sepertinya lebih memilih merawat perkebunan dan sawah yang biasanya terhampar di perbukitan yang landai.


Sementara para lelaki-lelaki perkasa mencari nafkah, para ibu-ibu selain terlihat sedang mencuci pakaian di pinggir kali, biasanya terlihat di angkot membawa hasil-hasil perkebunan yang sepertinya siap untuk dijual. Setiap bertemu dengan ibu-ibu lainnya, mereka bersalaman, kenalan dan sekian detik kemudian bercerita dengan lepasnya. Sebuah pemandangan yang langka untuk di jumpai di perkotaan.

Bagaimana dengan suasana pagi hari di Bandung? Satu kata yang mampu menggambarkan segalanya, “macet”. Semua kendaraan sibuk berlalu lalang. Pegawai kantoran, supir angkot dan ojek, hingga mahasiswa-i memenuhi jalanan serta trotoar bagi yang berjalan kaki. Tak jarang pula dihiasi dengan emosi para pengendara pribadi ketika kesel dengan angkot yang suka seenaknya. Cara yang buruk untuk memulai hari.

Kembali lagi ke kehidupan Karsam, ketika matahari tenggelam sekitar pukul 18.30, jalanan terlihat begitu sepi. Ya, sangat teramat sepi. Yang ada hanyalah orangtua dan anak-anak yang mengenakan sarung yang baru saja melakukan shalat magrib berjamaah di masjid. Warung-warung yang tutup, plus lampu jalan yang tak banyak benar-benar memberi kesimpulan desa ini mati begitu cepat! Bagaimana dengan Bandung di waktu yang sama? Ya sudah lah ya kita sama-sama tau.

Yak tulisan kali ini sepertinya sudah sangat panjang biarpun masih banyak hal yang begitu menarik untuk diceritakan. Namun sekarang gue ada di Bandung dan siap melepas kangen gue akan kemacetan ini. Tapi satu hal yang pasti, suatu hari gue pasti akan merindukan si Karangsambung.